Rabu, 07 Desember 2011

Saung Angklung Udjo

Latar Belakang      
       Saung Angklung Udjo (SAU) adalah suatu tempat workshop kebudayaan, yang merupakan tempat pertunjukan, pusat kerajinan tangan dari bambu, dan workshop instrumen musik dari bambu.
Selain itu, SAU mempunyai tujuan sebagai laboratorium kependidikan dan pusat belajar untuk memelihara kebudayaan Sunda dan khususnya angklung.

Didirikan pada Januari tahun 1966 oleh Udjo Ngalagena dan istrinya Uum Sumiati, dengan maksud untuk melestarikan dan memelihara seni dan kebudayaan tradisional Sunda. Berlokasi di Jln.Padasuka 118, Bandung Timur Jawa Barat Indonesia.

Dengan suasana tempat yang segar udaranya dan dikelilingi oleh pohon-pohon bambu, dari kerajinan bambu dan interior bambu sampai alat musik bambu.
Disamping pertunjukan rutin setiap sore, Saung Angklung Udjo telah berkali-kali mengadakan pertunjukan khusus yang dilakukan pada pagi atau siang hari. Pertunjukkan tersebut tidak terbatas diadakan di lokasi Saung Angklung Udjo saja, tetapi berbagai undangan tampil di berbagai tempat baik di dalam maupun di luar negeri, pada bulan Agustus tahun 2000 di Sasana Budaya Ganesha ITB, Bandung, Saung Angklung Udjo mengadakan konser kolaborasi dengan penyanyi cilik yang dijuluki Shirley Temple-nya Indonesia, yaitu Sherina.

Saung Angklung Udjo tidak terbatas pada hanya menjual seni pertunjukan saja, berbagai produk alat musik bambu tradisional (angklung, arumba, calung dan lainnya) dibuat dan dijual kepada para pembeli.

SEJARAH BERDIRINYA SAUNG MANG UDJO 

Di tahun 50-an, ada sebuah keluarga yang menempati kawasan Jalan Padasuka Bandung, sepasang suami-istri yang telah dikaruniai 10 orang anak, memulai perjalanan mereka untuk mendirikan sebuah paguyuban kesenian Sunda yang unik. Ide dasarnya adalah menjadikan bambu sebagai elemen yang memberikan banyak karakter yang mendominasi, karena itu, banyak benda yang dihasilkan dari bambu, seperti kursi pertunjukan, alat musik hingga panggung pertunjukannya.
Udjo Ngalagena sangat terinspirasi oleh filosofi gurunya Daeng Soetigna yang disingkat dengan 5M; Mudah, Murah, Mendidik, Menarik dan Masal. Kemudian, Udjo menyempurnakan filosofi ini dengan menambahkan satu nilai, yaitu Meriah.
Prinsip-prisip ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah konsep pertunjukan yang ideal, dan dikenal dengan nama Kaulinan Urang Lembur. Sebuah pertunjukan yang memadukan unsur kesenian Sunda yang atraktif dan pendidikan. Hal inilah yang menjadi daya tarik dan alasan utama orang berkunjung ke Saung Angklung Udjo.

Profil Pendiri Saung Udjo
Udjo Ngalagena (Alm)
Dilahirkan dari keluarga sederhana yang sangat perhatian pada masalah
pendidikan anak anaknya, dengan nama Udjo. Ayahnya Mas Wiranta seorang yg
pandai lagu2 sunda / mamaos agaknya sangat berperan besar akan ketertarikan udjo
pada kesenian sunda. Perkenalan dengan musik angklung dimulai sejak umur 4 tahun.
Lingkungan Udjo kecil saat itu memang masih kental dengan kebudayaan Sunda,
angklung kerap kali digunakan sebagai pengantar upacara arak-arakan padi, acara
pembuatan jembatan, sunatan dan lain lain. Saat itu kesenian tradisional pada
umumnya berkaitan dengan kepentingan dari masyarakat pendukungnya. Kepentingan
ini bersifat ritual komunal, biasanya berkaitan dengan upacara kesuburan dan upacara
inisiasi. Adapun upacara yang berkaitan dengan kesuburan seperti : Mapag Sri,
ngareureus pare/ turun binih, ngidepkeun, bersih desa, dan upacara inisiasi seperti :
Marhaban, khitanan, ruwatan.






Beliau belajar lagu lagu daerah sewaktu HIS partikelir kemudian setelah mengajar di Sekolah Pendidikan Guru belajar angklung Diatonis dari Daeng Soetigna. Selain yang telah disebutkan sebelumnya beliau juga belajar alat musik lain seperti kecapi dari Mang Koko dan gamelan dari Rd. Machyar Angga kusumadinata. Kemudian Udjo menggabungkan menjadi apa yang disebutnya “kaulinan urang lembur”. Selain tertarik pada kesenian yang terbuat dari bambu Udjo juga tertarik untuk
memproduksi alat musik bambu dan belajar tentang bambu untuk memperoleh kualitas yang terbaik dari beberapa tempat, Tanjung sari – Sumedang, bahkan hingga ke Sukabumi. Selain itu Udjo juga mengartikan dari perkataan Daeng Soetigna (bambu yang bagus itu bambu yang digunakan untuk menjemur pakaian dan dapat dari mencuri, yang berarti harus kering dan tidak usah membeli) bahwa bambu yang baik digunakan untuk Angklung adalah bambu yang telah kering. Bambu yang biasa digunakan adalah Bambu hitam (Gigantochloa atter), bambu tali (Gigantochloa apus)
dan bambu tutul (Banbusa vulgaris). Bambu berkualitas baik didapat dari daerah Surade dan Jampang Kulon – Sukabumi sedangkan rotan sebagai tali pengikat diperoleh dari sentra rotan Tegalwangi – Cirebon.
Pemilihan bambu juga tidak sembarangan, bila terlalu tua bambu akan mudah pecah, bila terlalu muda juga tidak baik karena akan mengkerut sehingga bila digunakan untuk angklung, nada yang dihasilkan akan berubah. Bambu yang telah
berumur 4 tahun atau telah memiliki tunas antara 2 hingga 3 cukup umur untuk bahan baku angklung. Pemanenan haruslah pada musim kemarau atau sekitar bulan Juli, hal ini disebabkan zat makanan yang terdapat didalam bambu dan disukai oleh hama serangga ngengat dalam keadaan minim. Setelah ditebang bambu dibiarkan selama setengah minggu sampai daunnya menguning kemudian baru ranting – rantingnya dibersihkan. Tahap selanjutnya adalah pengeringan yang berfungsi sebagai seleksi bambu yagn baik yaitu dengan diunun atau diasap diatas dapur hingga 2 tahun, selain itu juga dapat digunakan cara lain yaitu dengan diangin-angin di tempat yang teduh atau gudang penyimpanan hingga 3 sampai 4 bulan. Tahap selanjutnya adalah pemilihan bambu yang utuh tanpa ada hama yang memakannya.
Setelah bambu dipilih yang berkualitas, bambu tersebut baru dapat digunakan sebagai bahan pembuatan angklung. Pembuatan angklung yang paling penting adalah membentuk nada dasar dari tabung bambu. Suara bambu ada dua yaitu suara kayu bambu ketika beradu dengan benda lain dan suara yang dihasilkan ketika tabung ditiup. Alat penyeteman/ penyesuaian nada yang digunakan untuk menentukan nada dasar adalah Berina. Kemudian setelah dihasilkan nada dasar dilakukan finishing dengan penyeteman dengan Autochromatic Tuner. Dahulu penyeteman angklung hanya menggunakan botol-botol yang diisi air dan diberi tanda pada bagian luarnya, saat ini penyeteman selain menggunakan suling, gamelan, Berrina juga telah menggunakan alat elektronik yaitu Autochromatic Tuner. Penyeteman dengan Autochromatic Tuner

SEJARAH ANGKLUNG

               Pada jaman dahulu kala, instrumen angklung merupakan instrumen yang memiliki fungsi ritual keagamaan. Fungsi utama angklung adalah sebagai media pengundang Dewi Sri (dewi padi/kesuburan) untuk turun ke bumi dan memberikan kesuburan pada musim tanam. Angklung yang dipergunakan berlaraskan tritonik (tiga nada), tetra tonik (empat nada) dan penta tonik (5 nada).  Angklung jenis ini seringkali disebut dengan istilah angklung buhun yang berarti “Angklung tua” yang belum terpengaruhi unsur-unsur dari luar . Hingga saat ini di beberapa desa masih dijumpai beragam kegiatan upacara yang mempergunakan angklung buhun, diantaranya: pesta panen, ngaseuk pare, nginebkeun pare, ngampihkeun pare, seren taun, nadran, helaran, turun bumi, sedekah bumi  dll.

               Angklung adalah alat musik bambu yang terbuat dari dua tabung bambu yang dikaitkan pada rangka, tabung ini berbeda satu kecil dan yang lain lebih besar. Kedua tabung ini akan menghasilkan bunyi dengan menggoyangkan rangkanya sehingga badan tabung beradu dengan rangkanya. Terdapat beberapa nada / laras yang bisa dihasilkan dari alat musik angklung yaitu Pelog, Salendro, Pentatonis dan Diatonis. Laras ini dibentuk pada saat pembuatan tabungnya, penyeteman atau penyesuaian nadalah yang menentukan nada tiap angklung. Salendro dan Pelog merupakan laras yang banyak digunakan dalam musik tradisional sunda. Pentatonis memiliki nada terbatas Da Mi Na Ti La Da dan Diatonis yang diperkenalkan oleh Daeng Soetigna pada tahun 1938 memiliki nada yang lebih umum dikenal yaitu Do Re Mi Fa So La Si Do .
Penggunaan alat musik ini pada awalnya adalah digunakan untuk upacara yang berhubungan dengan padi dengan tujuan menghormati Nyai Sri Pohaci – Dewi Padi pemberi kehidupan (hirup-hurip), yaitu mulai dari menanam padi di huma
(ladang), ngubaran pare (mengobati padi) sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi (Baduy / Kanekes), setelah panen seluruh masyarakat mengadakan acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat (Banten Kidul), melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung) (Cipining- Cigedug – Bogor). Sesuai dengan perkembangan kesenian angklung digunakan untuk hiburan dan penyebaran agama Islam.


Program program / kegiatan SAUNG ANGKLUNG UDJO
Bamboo Petang

Bambu petang merupakan kemasan kemasan dari seni pertunjukan kesenian Sunda, khusus dirancang untuk keperluan turis mancanegara yang memiliki kesempatan/waktu yang singkat. Pada umumnya upacara tradisional memakan waktu
yang panjang dengan aturan yang ketat, tidak sesuai dengan kesempatan yang dimiliki para turis asing. Dengan mempertimbangkan kegiatan para turis yang mengunjungi tempat wisata Gunung Tangkuban Perahu dari pagi hingga pukul 14.30 maka Saung Udjo mengemas program yang padat dan berisi, yaitu pertunjukan rutin yang tiap hari
dilaksanakan mulai pukul 15.30 hingga 16.30.
Peralatan musik yang digunakan dalam pertunjukan, sebagian mernggunakan bambu mungkin karena hal ini nama bambu petang digunakan. Bambu relatif ditemukan dibanyak daerah di Indonesia. Sebagian masyarakat memanfaatkan bambu sebagai bagian dari kebutuhan hidupnya, terutama didaerah pedesaan. Bambu dimanfaatkan sebagai bilik/dinding, lantai kamar, peralatan dapur dan lain – lain. Bahkan bambu muda/ rebung digunakan sebagai bahan makanan. Pertunjukan dimulai dengan alunan musik gamelan yang merdu dan harmonis. Pembawa acara memperkenalkan nama nama alat musik yang digunakan untuk pertunjukan gamelan. Berikut adalah rangkaian acara yang disuguhkan dalam bambu
petang.
Demonstrasi Wayang Golek
Pertunjukan wayang golek ini hanya bersifat demonstrasi, pada pertunjukansesungguhnya dapat menghabiskan waktu lebih dari 7 jam sehingga tidak mungkin menampilkannya dengan kesempatan waktu turis mancanegara yang
terbatas. Demonstrasi hanya menampilkan bagaimana wayang golek berbicara, menari dan berkelahi di pertempuran. Selain itu ketika layar dibuka terlihatkan bagaimana dalang memainkan wayang dibalik layar, dengan ujung jempol
kakinya terikat pada kecrek, sibuk menghasilkan suara setiapkali adegan wayang bergerak dinamis.
Dijelaskan bahwa tiap tiap individu wayang mewakilkan gambaran kehidupan manusia, ada yang memiliki sifat baik dan juga jahat. Dalam pertunjukan sebenarnya, secara prinsip selalu membawa pesan moral, agar kita berbuat baik
pada sesama dan taat pada Pencipta. Siapapun yang berbuat baik akan menuai kebahagiaan dan barangsiapa yang berbuat kejahatan akan merasakan akibatnya.


Khitanan / Helaran
Dahulu di pedesaan ada sebuah tradisi untuk memberikan suatu hiburan bagi anak laki-laki yang hendak dikhitan, sehingga anak tersebut terhibur. Dalam pertunjukan ini, anak yang dikhitan diarak keliling kampung dengan duduk di
kursi khusus / jampana yang diangkat oleh 2 orang. Sementara itu teman-teman memberikan hiburan dengan menyanyi dan menari diringi dengan angklung tradisional, berlaraskan Salendro.


Arumba
Arumba adalah alat musik bambu yang diciptakan dan dimainkan dalam format band, namun tetap dapat menghasilkan nada-nada harmonis dan dinamis. Arumba baru muncul pada tahun 1970-an. Arumba sendiri merupakan singkatan
dari Alunan RUMpun Bambu.


Tari Topeng
Tari yang disajikan adalah cuplikan dari pola-pola tarian klasik Topeng Kandaga. Tarian ini dibawakan oleh 3 anak perempuan. Tarian ini terbagi atas dua babak : Babak pertama (tanpa topeng), menceritakan Layang Kumintir,
pembawa berita untuk Ratu Kencana Ungu dari Majapahit, yang sedang menyelidiki keadaan di kerajaan Blambangan. Babak kedua (memakai topeng), Layang Kumintir menyamar menjadi seorang pria gagah perkasa untuk melawan
Raja Menak Djinggo dari Blambangan


Angklung Mini
Angklung yang berukuran mini ini bukan sekedar pajangan, tetapi juga dapat dimainkan dengan lagu lagu yang sederhana. Beberapa lagu anak-anak yang cukup populer di banyak negara, termasuk di Indonesia dinyanyikan bersama
pengunjung (Melati Kenanga dalam berbagai bahasa, The Song of Do Re Mi, Burung Kakatua).
Angklung yang berukuran mini
Angklung Padaeng
Angklung Padaeng adalah angklung yang berlaraskan Do-re-mi. Awalnya angklung yang asli kurang dikenal orang, tidak berlaras dan dipergunakan sebagai alat musik ritmis saja, namun setelah Bapak Daeng Soetigna (Alm) memodifikasi dalam laras Do-re-mi pada tahun 1938 angklung dapat digunakan untuk bermain lagu lagu nasional dan lagu asing. Dalam perkembangannya, angklung mulai dikenal secara luas oleh masyarakat, sebagai alat musik yang terbuat dari bambu.

Bermain Angklung Bersama
Angklung memiliki dua tabung, yang besar dan yang kecil. Yang besar harus diletakkan di sebelah kanan, sedangkan yang kecil disebelah kiri. Pegang angklung pada bagian tengahnya dengan tangan kiri. Tangan kanan memegang sebelah bawah angklung, goyangkan angklung maka akan terdengar suara yang merdu dari dua tabung angklung. Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk memainkan angklung secara masal. Hand sign dan membaca Angka-angka dilayar adalah metode yang mudah dimengerti. Tiap pegunjung diberikan masing masing satu buah angklung yang memiliki angka angka tertentu dari 1 hingga 8, tiap angka memiliki hand sign tersendiri. Dirigen akan membawakan lagu dengan menggerakkan tangannya yang memiliki arti angka angka dan terbentuk sebuah lagu, pengunjung tinggal mengikuti hand sign dari dirigen.

Hand sign dari dirigen

Pagelaran Angklung Khusus
Angklung yang dibuat oleh Bapak Daeng Soetigna disambut baik sekali oleh kalangan akademis sebagai alat pembantu pendidikan khusus. Angklung memiliki sifat 5M Mudah, Murah, Mendidik Menarik dan Masal. Keistimewaan angklung memang alat musik yang sangat menarik dibawakan masal (minimal 35 orang), namun disisi lain permainan angklung yang baik akan tercipta bila diantara pemain terdapat kekompakan. Terkadang cukup sulit untuk menjaga kekompakan.

Penutup
Pada akhir acara, Saung udjo akan mengajak pengunjung untuk bergembira dan menari bersama. Selain pertunjukan bambu petang yang diadakan rutin setiap hari Saung angklung juga memenuhi undangan yang diadakan diluar saung, baik itu di dalam diluar kota Bandung bahkan diluar negeri. Caruban budaya sunda merupakan program kerjasama dengan Badan Penyelenggara Apresiasi Seni untuk Sekolah Dasar, yang bertujuan untuk mengenalkan kesenian dari sejak dini kepada siswa sd se-Kota Bandung. Program Beasiswa Kebudayaan South West Pacific Dialogue (SWPD) dalam kerjasama dengan ASEAN yang diprakarsai oleh Departemen Luar Negeri. Suatu proses pengenalan, pengembangan, inovasi seni dan budaya, yang diharapkan terjadi melalui proses akulturasi budaya-budaya yang berbeda. Produksi instrumen angklung dilakukan untuk keperluan intern pertunjukan dan penjualan. Produk alat musik bambu tradisional seperti angklung, arumba, calung dibuat dan dijual kepada pembeli. Saung angklung membuat kebijakan untuk menstimulan perekonomian masyarakat setempat dengan menerapkan pola kemitraan. Saung Angklung memberikan pesanan pembuatan alat musik bambu dan menyediakan materi pendukung, bahan baku, pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas produk baik dari suara artistiknya hingga pemberantasan hama yang menyerang bambu.
Tingkat penjualan produk alat musik bambu sendiri cukup tinggi, terbukti dengan tingginya intensitas dan kuantitas pesanan yang diterima baik dalam maupun luar negeri. Apalagi mengingat alat musik angklung memiliki berbagai keunikan, yaitu memiliki fungsi pedagogik sebagai salah satu media yang dapat membangun karakter pelakunya. Sehingga pesanan banyak yang berasal dari institusi – institusi pendidikan. Saat ini Saung Udjo telah memikirkan untuk masa yang akan datang. Harapannya adalaha menjadikan Saung Angklung Udjo sebagai temapt wisata yang tidak saja dinikmati kalangan tertentu tetapi juga dapat dikenal sebagai sebuah tempat wisata keluarga yang edukatif, atau sebagai sebuah tempat wisata yagn tidak hanya menampilkan pertunjukan musik bambu saja tapi seni dan budaya masyarakat sunda
lainnya. Sebuah tempat wisata yang merupakan replika dari suatu perkampungan sunda tempo dulu, sehingga akan terbentuk suatu pengembangan konsep yang dinamakan : Kampoeng Soenda.
(Kharistya Amaru).

KAMPANYE
  • Gerakan Masyarakat Padasuka Hijau
  • Posyandu Harapan Bunda
  • Saung Angklung Udjo dan Unit-unit Bisnis Kecil Menengah Warga Sekitar
  • Saung Angklung Udjo Bersama Karang Taruna Pasirlayung
Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Saung_Angklung_Udjo
               http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/05/softskill-pariwisata
               http://kharistya.wordpress.com/2008/02/08/saung-angklung-udjo/

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Thank's....*-*

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates